Sondag 14 April 2013

Definisi Manajemen Keuangan Pendidikan (Sekolah)


Manajemen  pembiayaan  pendidikan  merupakan  proses  pengaturan  dan  pengelolaan  biaya secara  efektif  dan  efisien  dalam  usaha  pembiayaan  pendidikan.  Biaya  pendidikan  merupakan  komponen  yang  sangat  penting  dalam  penyelenggaraan  pendidikan.  Proses  pendidikan  tidak  dapat  berjalan  tanpa  dukungan  biaya.
Manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai “tindakan pengurusan atau
ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan,
pertanggungjawaban, dan pelaporan” (Depdiknas, 2002).
Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah merupakan rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah yang dimulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan, dan pertanggung- jawaban keuangan sekolah.
Menurut Bafadal (2004), manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai “keseluruhan proses pemerolehan dan pendayagunaan uang secara tertib, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan”.
      Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal yang perlu digarisbawahi terkait dengan manajemen keuangan sekolah, antara lain sebagai berikut:
1.  Manajemen keuangan merupakan keseluruhan proses upaya memperoleh serta mendayagunakan seluruh dana.
2.             Mencari sebanyak mungkin sumber-sumber keuangan serta berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan dana dari sumber-sumber keuangan.
Menurut Bastian (2007), ada tiga anggaran publik dalam anggaran pendidikan yang harus kita perhatikan, yaitu:
1)      Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dikelola oleh Pemerintah Pusat;
2)      Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dikelola oleh Pemerintah Daerah; serta
3)      Anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang dikelola oleh satuan pendidikan (sekolah).
Sagala (2008) menjelaskan kerangka sistem penganggaran pendidikan pada pemerintahan kabupaten/kota. Mekanisme penentuan anggaran pendidikan dimulai dari musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) yang di dalamnya termasuk sekolah yang berada di desa tersebut.  Akan tetapi, di lain pihak, sekolah juga mengajukan anggaran sekolah yang disebut dengan rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) kepada Cabang Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya, hasil Musbangdes digabung-kan di kecamatan, sehingga oleh Camat  diidentifikasi dan diolah menjadi usulan daftar kegiatan pembangunan (UDKP) pada tingkat kecamatan yang di dalamnya sudah termasuk program dinas yang berada di kecamatan. UDKP dari kecamatan bersama dengan usulan dinas teknis diserahkan kepada Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA).

Sumber Biaya Pendidikan

Dalam pengelolaan pendidikan, khususnya sebuah sekolah tentunya sumber biaya terdapat dari sejumlah pihak atau sektor yang dapat membantu dalam manajemen pembiayaan tersebut. Dilihat dari sumber-sumbernya, biaya pada tingkat makro (nasional) berasal dari sebagai berikut:
1.      Pendapatan Negara dari sector pajak (yangberagam jenisnya)
2.      Pendapatana dari sector non pajak, misalnya dari pemanfaatan sumber daya alam dan produksi nasional lainnya yang lazim dikategorikan ke dalam “gas” dan “non migas”
3.      Keuntungan dari ekspor barang dan jasa
4.      Usaha-usaha Negara lainnya, termasuk dari divestasi saham dan perusahaan Negara (BUMN)
5.      Bantuan dalam bentuk hibah (grant) dan pinjaman luar negeri (loan)baik dari lembaga-lembaga keuangan internasional ( seperti Bank Dunia, ADB, IMF, IDB, JICA) maupun pemerintah, baik melalui kerjasama multilateral maupun bilateral.
Menurut Depdiknas (2007), sumber-sumber pendapatan sekolah dapat berasal dari:
1.       Pemerintah, yang meliputi: Pemerintah Pusat, yang dialokasikan melalui APBN serta Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dialokasikan melalui APBD;
2.      Usaha mandiri sekolah, yang berupa kegiatan: pengelolaan kantin sekolah, koperasi sekolah, wartel, jasa antar jemput siswa, panen kebun sekolah; kegiatan sekolah yang menarik sehingga ada sponsor yang memberi dana; kegiatan seminar/ pelatihan/lokakarya dengan dana dari peserta yang dapat disisihkan sisa anggarannya untuk sekolah; serta penyelenggaraan lomba kesenian denganbiaya dari peserta atau perusahaan yang dapat disisihkan sebagian dananya untuk sekolah;
3.      Orang tua siswa, yang berupa sumbangan fasilitas belajar siswa, sumbangan pembangunan gedung, iuran BP3, dan SPP;
4.      Dunia usaha dan industri, yang dilakukan melalui kerjasama dalam berbagai kegiatan, baik berupa bantuan uang maupun fasilitas sekolah;
5.      Hibah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, di mana kepala sekolah perlu menyusun proposal yang menguraikan kebutuhan pengembangan program sekolah;
6.      Yayasan penye-lenggara pendidikan bagi lembaga pendi-dikan swasta; serta
7.      Masyarakat luas.
Alokasi dana untuk setiap sector pembangunan, termasuk pendidikan, dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun.  Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, anggaran untuk sector pendidikan sebagian besar berasal dari dana yang diturunkan dari pemerintah pusat ditambah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Pada era sentralisasi di masa lalu, sebagian besar dana pendidikan yang ada ditingkat provinsi dan kabupaten/kota berasal dari pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah ahnya mengelola dan menyalurkannya sesuai dengan peruntukannya yang telah direncanakan sebelumnya. Hanya sebagian kecil dana pendidikan di daerah yang berasal dari anggaran daerah (Ditjen POUD, 1993).
Pada era otonomi daerah sekarang, keadaan tersebut belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar dana dalam RAPBD provinsi dan kabupaten/kota diperoleh dari pusat yang disalurkan dalam bentuk paket yang disebut Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk sebagoian ditambah lagi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Perbedaannya hanya terletak pada tanggung jawab pengalaokasiannya yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Namun terdapat pengecualian. Daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam yang dikuasai oleh Negara mendapatkan bagian dalam proporsi tertentu dari keuntungan yang diperoleh dengan mengacu pada UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam (misalnya Riau, Aceh, Kalimantan, Irian Jaya) tidak hanya mengndalkan pendapatannya pada PADS dan DAU, melainkan juga dari bagi hasil tersebut. Pendapatan dari bagi hasil diturunkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah provinsi, kemudian sebagian didistribusikan lagi ke tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan formula tertentu. Hal ini memungkinkan mereka untuk dapat mengalokasikan dana yang lebih besar untuk sector pendidikan.
Pada tingkat sekolah (satuan pendidikan), biaya pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa, dansumbangan masyarakat. Sejauh tercatat dalam RAPBS, sebagian besar biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal dari pemerintah pusat, sedangkan untuk sekolah swasta berasal dari para siswa atau yayasan. Pada tahun 1991/1992, sebanyak 92,39% penerimaan biaya pendidikan di SD berasaldari pemerintah pusat, hanya 0,23% dari pemerintah daerah, 6,98% dari iuran siswa yang ditampung melalui BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang sebelumnya bernama POMG (Persatuan Orang tua Murid dan Guru), 0,20% dari masyarakat, dan 0,20& dari sumber-sumber lain (Ditjen POUD,1993).
Besar kecilnya biaya pendidikan, terutama pada tingkat satuan pendidikan, berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan, seperti angkla partisipasi, angka putus sekolah dan tinggal kelas, dan prestasi belajar siswa.